Selasa, 26 Oktober 2010

nyasar di jawa tengah

                Jalan ku ya seperti ini, sudah digariskan Tuhan bahwa melanjutkan study di jawa tengah dan meninggalkan kampong halaman di Bekasi, Jawa Barat. 
Awal awal sih interest banget, wah pasti entar dapet pengalaman baru, pasti enak ya ngekost, hidup jauh dari orang tua, bisa ngelakuin apa aja yang di inginkan tanpa minta persetujuan dari orang tua kira dahulu, wah pasti aku bisa kurus di Semarang, karena jauh dari rang tua, wah enak nih bisa pulang malam tanpa takut di omeli orang tua.
SEKALI LAGI ITU SANGAT SALAH. 
 Hidup sebagai anak perenatauan tidak se-simple statement di atas. Yang musti lo camkan di hidup lo adalah, ada banyak orang yang berada jauh disana menantikan kesuksesan lo ketika kembali ke kampong halaman. Ada banyak orang menantikan kita pulang membawa sedikit harapan agar kita menjadi orang yang lebih baik karena memiliki pendidikan yang baik pula.
MOTIVASI utama aku kuliah di luar kota—selain karena perguruan tinggi negeri di Jakarta tidak ada yang berminat menampung saya, juga saya ingin kurus! Ngaruh ya emang. Setahun sebelumnya teman laki laki ku yang kuliah di universitas gadjah mada, setelah enam bulan perdana hidup jauh dari orang tua, berat badannya langsung menurun drastic delapan kilo. Oh damn, kalau gue ngekost, gue pasti bisa kurus langsing dengan sendirinya. Itu yang ada di pemikiranku saat itu. Dan lihat buktinya, berat badan gue sama sekali nggak turun. Naik malah iya. Secara gini deh, setiap begadang kerja kelompok pasti malem malem kelaparan terus jajan nasi greng lewat deh. Gimana mau kurus. Dan untuk menjadi kurus tidak sesederhana hanya dengan menjadi anak kost, butuh proses. Lagi pula kuliah ku Cuma tiga bulan, semester kemarin aku libur semester sampai 2,5 bulan. Justru jadi program penaikan berat badan deh. Huh.
Itu motivasi sampingan lebih tepatnya. Motivasi utama tentu ingin membanggakan orang tua. Mereka ingin melihat anaknya sukses. Aku nggak ingin mengecewakan orang orang yang sudah memberi kepercayaan padaku untuk kuliah di luar kota. Nah itu. Tanggung jawabku. Berat. Mereka nggak perlu tahu masalah yang aku alami disini. Mereka hanya butuh tahu nilai IP ku baik, cumlaude kalau bisa. Jadi ya biar masalah yang aku temui di sini ya aku hadapi sendiri karena aku sudah dewasa. Ya. Aku sudah dewasa, tidak perlu membebani pikiran mereka dengan masalah yang aku temui.
Hooh. Tapi segi baik dari merantau dari kampong halaman ialah, aku dapat menjelajah dunia yang sama sekali belum pernah aku jamah. Aku bisa pergi kemana saja, travelling ke obyek wisata mana pun yang aku mau, yang nggak bisa aku temui di Jakarta yang penuh sumpek dengan gedung gedung pencakar langit yang di bangun tanpa memerdulikan GSB dan KDH. Obyek wisata di seputar jawa tengah sangat beragam, indah dan terjaga kealamiannya. Jadi jika aku kuliah di Jakarta pasti tidak dapat menikmati ciptaan Tuhan ini. Jika aku kuliah di Jakarta pun aku pasti hanya suntuk dengan kemacetan berjam-jam, kepulan asap knalpot, lalu lintas motor dan mobil yang amat mengerikan karena tidak ada yang mau mengalah dengan alasan professionalitas kerja, dan hiburan gue di Jakarta apa lagi kalau bukan nonton bioskop dan belanja di mall. Ah bosen. Itu semua gue tinggalkan untuk sebentar menikmati nyamannya kota semarang, hangatnya warga semarang,  tanpa macet, tanpa khawatir orang-orang disekitar kita jahat, dan yang jelas merasakan ketentraman hidup.
Jakarta memanglah banyak gedung modern lebih banyak di banding tempat hidupku sekarang. Disini rata rata tidak memiliki gedung pencakar langit, selain karena terdapat bandara juga karena ketersediaan lahan mencukupi kebutuhan ruang warga. Bangunan modern disini pun dapat dihitung jari, tapi mungkin itulah yang perlu di pertahankan dari kota ini. Buat apa menengok kea rah kiblat Jakarta jika tidak ingin kelak tenggelam seperti Jakarta. Lebih baik memperbaiki diri dan membangun jati diri kota ini lebih lanjut.
Apa mungkin aku Cuma dapat menikmati ini semua hanya empat tahun? Sesungguhnya aku nggak ingin kembali ke kota jahat itu. Aku ingin disini saja menikmati hidup dan membangun hidup disini yang lebih baru karena kota jahat itu terancam akan tenggelam oleh kejahatannya sendiri. Jakarta sesungguhnya tidak membutuhkan kami para arsitek, mereka terlalu angkuh untuk menerima arsitek macam kami. Jakarta tidak butuh arsitek, dia hanya butuh pengampunan. Karena merasa aku tidak dibutuhkan lagi di kota itu, aku ingin memulai hidup yang di awali dengan kata ‘nyaman’. Semoga kelak aku bisa membangun keluarga di kota yang nyaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar